Sekilas Tentang Kehidupan Ibn Arabi
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Arabi, pergi ke Baghdad pada usia senja. Ia mendambakan seorang anak sebagai penerusnya ketika dia wafat. Dia pergi untuk menemui Syeikh besar Muhyiddin ‘Abdul Qadir al-Jilani dan memintanya untuk berdoa kepada Allah agar memberinya seorang anak. Syeikh berkhalwat dan melakukan perenungan. Sekembalinya, dia memberitahu ‘Ali ibn Muhammad; “Aku telah melihat alam rahasia dan telah diungkapkan kepadaku bahwa engkau tidak akan mempunyai keturunan, maka janganlah engkau letihkan dirimu dengan berusaha”.
Meski kepalanya tertunduk, orang tua itu tidak akan menyerah. Dia meminta dan menegaskan: “Wahai Syeikh, Allah tentu akan mengabulkan doamu. Aku memintamu untuk memberikan syafaat kepadaku dalam masalah ini”.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilani sekali lagi menyendiri dan melakukan perenungan. Tak lama berselang dia kembali dan berkata bahwa meski Ali ibn Muhammad tidak ditakdirkan untuk memiliki seorang keturunan, sedangkan sang wali sendiri tidaklah demikian. Apakah orang tua itu ingin mempunyai benih anak sang wali?.
Si tamu dengan gembira menerimanya. Kedua orang itu saling merapatkan punggung, kedua tangan mereka saling bertautan. Ali ibn Muhammad kemudian menuturkan peristiwa ini:
“Ketika aku merapatkan punggungku ke punggung sang wali Abdul Qadir al-Jilani, aku merasakan sesuatu yang hangat turun dari leherku ke bagian punggungku. Tak lama setelah itu seorang anak lahir untukku, dan dia kuberi nama Muhyiddin, seperti yang diperintahkan Abdul Qadir al-Jilani”.
Nama lengkap Muhyiddin ibn Arabi adalah Abu Bakr Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Hatimi al-Tha’i al-Andalusi. Dia beroleh banyak gelar: al-Syaikh al-Akbar, Guru Besar; Khatim al-Auliya’ al-Muhammadiyyah, Penutup para Wali Muhammad; al-Syaikh al-A’zham, Guru Agung; Quthb al-Arifin, Poros Para Ahli Makrifat Imam al-Munahiyuddin, pemimpin Agama Para Mualaf; Rahbah al-Alam, Pembimbing Dunia; dan masih banyak lagi. Mengenai pengetahuannya yang luar biasa, Ibn al-Jawziyah berkomentar, “Ibn Arabi sangat menguasai kimia, dan mengetahui rahasia Nama Agung Allah, yang tersembunyi di dalam Al-Qur’an”. Syeikh Sa’duddin Hamawi berkata, “Muhyiddin adalah samudera pengetahuan tak berpantai”.
Muhyiddin Ibn Arabi lahir dikota Murcia propinsi Andalusia Islam, Spanyol, pada Senin 17 Ramadhan 560 H (28 juli 1165). Ayahnya adalah seorang sufi dan pribadi yang termasyhur dan terhormat. Pada masa kanak-kanaknya, di dididik dan diajarkan oleh dua wali wanita, Yasmin dari Marchena dan Fathimah dari Cordoba. Pada usia delapan tahun, Ibn Arabi dan keluarganya pindah ke Sevilla. Di sana dia belajar kepada Abu Muhammad dan Ibn Basykuwal, dua teolog dan ulama ahli hadist terbesar pada zamannya. Ketika dia berusia Sembilan belas tahun, sahabat sang ayah, filsuf dan sufi terkenal Ibn Rusyd (dikenal Barat sebagai Averroes), merasa tertarik untuk bertemu dengannya. Etrgerak oleh kekuatan besar yang dirasakannya melalui percakapan singkat dengan pemuda itu, sang ulama berbicara kepada ayahnya sesuai dengan yang diingat Ibn Arabi berikut ini :
Dia bersyukur kepada Allah karena dapat bertemu dengan orang yang telah memasuki penyendirian spiritual tanpa disadarinya dan meninggalkannya seperti aku. Dia berkata : “Itulah kejadian yang kemungkinannya telah kupastikan tanpa bertemu dengan orang yang telah mengalaminya. Mahasuci Allah bahwa aku hidup pada zaman ketika ada orang yang merasakan pengalaman ini, salah seorang dari sekian banyak orang yang membuka kunci pintu-Nya. Mahasuci Allah yang telah memberiku karunia bertemu langsung dengan salah seorang dari mereka”.
Karena ada rumor “apa yang telah Allah ungkapkan kepada seorang pemuda di tengah-tengah penyendirian spiritualnya” yang menarik perhatian Ibn Rusyd, kita tahu bahwa Ibn Arabi merasakan pengalamannya yang pertama, yakni pendakian mistik dalam khalwah, padahal dia berusia kurang dari dua puluh tahun. Tetapi, dia tidak menuliskan risalah ini, selama dua puluh tahun berikutnya.
Pada 1201, saat berusia 36 tahun, Ibn Arabi pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu dia berdoa kepada Allah agar mengungkapkan kepadanya semua yang terjadi di alam materi (jasmani) dan alam spiritual (ruhani). Allah, yang mengabulkan doanya, membuka alam rahasia kepadanya. Mengenai semua ini, Ibn Arabi kemudian berkomentar : “Aku tahu nama dan silsilah Quthb yang akan dating hingga hari kiamat. Tapi karena menentang apa yang ditakdirkan merupakan malapetaka yang sesungguhnya, karena kasih saying kepada generasi mendatang, kuputuskan untuk menyembunyikan pengetahuan ini”.
Setelah melaksanakan ibadah haji, Ibn Arabi pergi ke Mesir, Irak, dan damaskus, serta singgah di Konya, turki, di mana dia bertemu dengan Shadruddin Qunawi, seorang ulama sufi muda. Ibn Arabi menikah dengan ibu pemuda ini. Sadruddin muda menjadi salah seorang murid terdekatnya, yang diperkayanya dengan pengetahuan material dan spiritual yang luar biasa. Buku yang diedit di Konya oleh sang penulis tiga tahun setelah melaksanakan ibadah haji, kemungkinan pada mulanya disampaikan kepada orang suci ini.
Pada tahun 1223 H, Ibn Arabi kembali ke Damaskus, tempat dia bertemu, secara fisik maupun spiritual, dengan banyak guru sufi yang lain. Di sana dia menghabiskan sisa hidupnya. Konon dia wafat pada 1240 H.
Ibn Arabi menyebutkan bahwa dia bertemu Khidir, pembimbing gaib kaum sufi, sebanyak tiga kali. Pertemuannya yang pertama diceritakannya sebagai berikut:
Hal itu terjadi pada awal pendidikanku. Guruku, Abu al-Hasan, menisbahkan sebagian pengetahuan kepada seseorang. Sepanjang hari itu aku terus-menerus menentangnya atas hal tersebut. Ketika aku meninggalkannya, tepatnya saat pulang ke rumahku aku bertemu dengan orang yang tampan yang mengucapkan salam kepadaku dan berkata, “Hai yang dikatakan gurumu benar adanya-terimalah”.
Aku berlari kembali kepada guruku dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Dia bercerita kepadaku bahwa dia berdoa agar Khidir datang dan memperkuat ajarannya. Ketika mendengar hal itu, aku benar-benar memutuskan untuk tak pernah menentang lagi.
Mengenai pertemuannya yang kedua dia berkata:
… Aku tengah berada di pelabuhan Tunisia di atas sebuah perahu. Aku tak adapat tidur semalaman dan berjalan-jalan di geladak. Aku tengah menatap bulan purnama nan indah ketika tiba-tiba aku melihat seorang lelaki tinggi, berjenggot putih datang ke arahku, seraya berjalan di atas air di sebelah perahu. Aku heran. Dia berdiri tepat di depanku dan meletakkan kaki kanannya di atas kaki kirinya sebagai tanda memberi salam. Kulihat kakinya tidak basah. Dia menyampaikan salam kepadaku, mengucapkan beberapa patah kata, dan mulai berjalan menuju kota Menares, yang berada di sebuah bukit nun jauh di sana. Yang membuatku takjub, dia menempuh jarak satu mil dengan berjalan kaki. Dari kejauhan, aku bias mendengar suaranya yang merdu yang meyenandungkan dzikr. Keesokan harinya aku pergi ke kota itu, di mana aku bertemu dengan seorang syeikh yang bertanya kepadaku bagaimana pertemuanku dengan Khidir senja itu dan apa yang kami perbincangkan.
Pertemuan ketiga Ibn Arabi dengan Khidir, menurut salah satu riwayat, terjadi di sebuah masjid kecil di pantai Atlantik, Spanyol. Di tempat itu, Ibn Arabi tengah laksanakan salat zuhur. Dia bersama seseorang yang menolak adanya mukjizat. Ada beberapa pengembara lain di masjid itu. Tiba-tiba, dia melihat di tengah-tengah mereka sosok manusia serupa yang pernah ditemuinya di Tunisia. Orang yang tinggi dan berjenggot putih itu mengambil sajadahnya dari mimbar di masjid itu, mengangkatnya empat belas kaki di udara, dan melaksanakan salatnya di sana. Kemudian dia kembali untuk menceritakan kepada ibnu Arabi bahwa dia berbuat demikian sebagai dalil bagi sahabatnya yang skeptis itu, yang menolak mukjizat.
Ketika Muhyiddin Ibn Arabi berada di atas tingkatan Syeikh Abu al-Hasan al-Uryani, dia menulis sepucuk surat kepada gurunya, seraya berkata, “Hadapkanlah hatimu kepadaku dan sampaikan pertayaanmu, dan aku akan menghadapkan hatiku kepadamu serta menjawab semua pertanyaan itu”.
Tak lama berselang dia menerima sepucuk surat dari sang guru, yang berkata:
Aku bermimpi bahwa semua wali berkumpul di dalam majelis dengan dua orang berada di tengahnya. Salah seorang diantaranya adalah Abu al-Hasan ibn Siban. Aku tidak dapat melihat wajah yang lain. Kemudian kudengar suara yang mengatakan bahwa orang lain yang berada di tengah itu adalah seorang Andalusia, dan bahwa salah seorang dari keduanya akan menjadi quthb pada zaman kami. Sebuah ayat Al-Qur’an dibacakan dan kedua orang itu bersujud. Ada suara berkata, “Yang mengangkat kepalanya lebih dulu akan menjadi quthb”. Orang Andalusia itu mengangkat kepalanya lebih dulu. Aku bertanya kepada suara itu tanpa huruf atau kata-kata. Suara itu menjawabku dengan berembus ke arahku. Napas ini berisi jawaban atas semua pertanyaanku. Aku dan juga semua wali di dalam majelis itu mencapai ekstase karena napas ini. Kutatap wajah orang Andalusia yang berada di tengah lingkaran itu. Ternyata, itulah engkau, hai Muhyiddin Ibn Arabi.
Karya-Karya Ibn Arabi
Pengaruh spiritual menakjubkan wali ini, di Timur dan Barat, sangatlah jelas. Dia telah mengajarkan tauhid, Keesaan, kepada manusia, dan akan terus mencerahkannya hingga hari kiamat. Ajarannya tentang keagungan Penciptaan dan pengetahuannya yang luar biasa yang dipertontonkan dalam buku-buku seperti al-Futuhat al-Makkiyah (Wahyu-wahyu Makkah), Fushush al-Hikam (Permata Hikmah), dan sebagainya, yang jumlahnya lebih dari 500 karya-menjadi saksi atas kedudukannya yang penting.
Kisah Perjalanan Ibn Arabi
Dia mempunyai musuh sebanyak orang yang mencintainya; orang-orang fanatik laksana kelelawar yang dibutakan oleh cahaya sang wali. Sebagian orang memusuhi orang-orang yang tidak mereka kenal, tidak dapat mereka kenal, dan tidak dapat mereka pahami. Bahkan orang-orang yang menyebutnya al-Syaykh al-Akbar (Guru Besar) merupakan orang-orang yang tidak memehaminya. Sebagian mereka bahkan membencinya. Sang wali tidak hanya memaafkan orang-orang yang kurang baik ini namun bahkan menyatakan bahwa dia akan memberikan syafaat kepada mereka di hari kiamat, sebab mereka harus dikasihi karena tak mampu memahaminya. Sesungguhnya, seperti halnya pandai-emas mengetahui nilai emas, orang bijak mengetahui nilai pengetahuan dan manusia Sempurna yang sangat mengetahui memaafkan si bodoh karena kemiskinan mereka. Kasih sayang sang wali ini adalah bukti yang memadai atas kesempurnaannya.
Suatu hari, salah seorang musuh Ibn Arabi jatuh sakit. Sang Syekh pergi menjenguknya. Dia mengetuk pintu dan memohon kepada istri si sakit untuk memberitahu bahwa dia ingin menjenguknya. Wanita itu menyampaikan pesannya dan, sekembalinya, menyampaikan kepada Syekh bahwa suaminya tidak ingin bertemu dengannya. Syekh tidak punya urusan di dalam rumah ini, demikian sang istri memberitahunya. Tempat yang pantas baginya adalah gereja. Syekh berterima kasih kepada wanita itu dan mengatakan bahwa karena orang baik seperti suaminya tentu tidak akan mengirimnya ketempat yang buruk, dia akan menuruti saran itu. Maka setelah berdoa bagi kesehatan dan kesejahteraan orang sakit tersebut, Syekh pun berangkat ke gereja.
Ketika dia tiba, dia melepas sepatunya, masuk dengan rendah hati dan sopan. Lalu secara perlahan dan tenang berjalan ke sebuah sudut, tempat dia duduk. Pendeta tengah menyampaikan khotbah yang didengarkan Ibn Arabi dengan penuh perhatian. Di tengah-tengah khotbah, Syekh merasa si pendeta telah memfitnah Isa dengan menisbahkan kepadanya pengakuan bahwa dia adalah anak Allah. Syekh berdiri dan dengan santun menolak pernyataan ini. “Bapak pendeta yang terhormat”, demikian dia memulai, “Isa yang suci tidak mengatakan hal itu. Sebaliknya, dia meramalkan kabar gembira tentang datangnya Nabi Ahmad (Muhammad SAW)”.
Pendeta itu menolak bahwa Isa telah berkata demikian. Perdebatan terus berlangsung. Akhirnya Syekh, seraya menunjuk gambar Isa di dinding gereja itu, memerintahkan sang pendeta untuk bertanya langsung kepada Isa. Dia akan menjawab dan memutuskan masalah itu sekali dan buat semua. Sang pendeta menolak dengan keras, seraya menyatakan bahwa gambar tidak dapat berbicara. Gambar ini tentu, demikian Syekh menegaskan, demi Allah yang telah membuat Isa berbicara saat masih bayi di pangkuan Perawan Suci, juga akan membuat gambarnya berbicara. Jamaah yang mengikuti perdebatan yang sengit itu tertarik oleh pernyataan ini. Sang pendeta terpaksa berpaling pada gambar Isa dan bernicara kepadanya : “Wahai anak Allah! Tunjukkan pada kami jalan yang benar. Katakan kepada kami mana diantara kami yang benar dalam pernyataan kami”. Dengan kehendak Allah, gambar itu berbicara dan menjawab : “Aku bukan anak Allah, aku adalah utusan-Nya, dan sesudahku datang nabi yang terakhir, Ahmad Yang Suci; Kuramalkan hal itu kepadamu, dan kunyatakan kembali kabar gembira ini sekarang”.
Dengan keajaiban ini, semua jamaah menerima islam dan, dengan dipimpin oleh Ibn Arabi, mereka berbaris melewati jalan-jalan menuju masjid. Ketika mereka melewati rumah orang sakit itu, dia terlihat berada di dalam rumah, matanya terbelalak heran, seraya melihat ke luar jendela kea rah pemandangan ganjil ini. Sang wali berhenti, memberkati dan berterima kasih kepada pria yang telah menghinanya itu, seraya berkata bahwa dia terpuji atas keselamatan semua orang itu.
Tidak banyak orang yang memehami sang wali pada masa hidupnya. Suatu hari dia mendaki gunung di Damaskus, berdakwah dan berkata : “Hai penduduk Damaskus, Tuhan yang kalian sembah ada di bawah kakiku”.
Ketika mendengar kata-kata ini, orang melemparinya dengan batu, dan bersiap untuk membunuhnya. Sebenarnya, menurut salah satu tradisi, pada kejadian tersebut dia telah mati syahid. Menurut tradisi lain seorang Syekh pada zamannya, Abu al-Hasan, meredakan ucapannya dan menyelamatkannya dari kematian dengan dialog berikut :
“Bagaimana penduduk bias memenjarakan seseorang”, demikian dia bertanya kepada Ibn Arabi, “Yang melaluinya alam malaikat dating ke dunia fana?”
“Kata-kataku telah diucapkan, “Jawab Syekh, “Melalui racun keadaan yang engkau jelaskan”.
Tetapi ucapan Ibn Arabi dan karyanya telah menimbulkan reaksi keras semacam itu pada masa hidupnya dan, setelah wafatnya, orang menghancurkan pusaranya hingga rata dengan tanah.
Salah satu pernyataan yang mengandung teka-teki adalah “Idza dakhala al-sin ila al-syin/Yazhara qabru Muhyiddin”, yang berarti : “Ketika S memesuki Sy (huruf sin dan syin dalam bahasa arab), pusara Muhyiddin akan ditemukan”. Ketika sultan Utsmani IX, Salim II, menaklukan Damaskus pada 1516, dia memepelajari pernyataan ini dari seorang ulama sezaman yang bernama Zembili Ali Efendi, yang menafsirkannya : “Ketika Salim (yang namanya diawali huruf sin) memasuki kota Syam (nama Arab Damaskus, yang diawali huruf syin), dia akan menemukan pusara Ibn Arabi”. Kemudian Sultan Salim memperoleh keterangan dari para teolog kota itu mengenai tempat sang wali menyatakan “Tuhan yang kalian sembah ada di bawah kakiku”, dan tempat itu pun digali. Pertama, ditemukan perbendaharaan uang logam emas, yang mengungkapkan apa yang dimaksudkan oleh sang wali. Di sebelahnya, dia menemukan pusaranya. Dengan kekayaan yang ditemukannya, Sultan Salim mendirikan tempat ziarah dan masjid yang sangat indah di sekitar pusara itu. Ia masih ada hingga di kota Damaskus dan berada di sebuah tempat yang disebut Salihiyyah di lereng gunung Qasiyun.
Muhibbuddin al-Thabari menisbahkan kisah berikut kepada ibunya:
Muhyiddin Ibn Arabi tengah menyampaikan khotbah di Ka’bah tentang arti Ka’bah. Di dalam hati, aku tidak setuju terhadap ajarannya. Malam itu aku bermimpi bertemu syekh. Di dalam mimpi ini, Fakhruddin al-Razi, salah seorang teolog terbesar pada masa itu, dating melaksanakan haji dengan kemegahan dan upacara besar, dan telah bertawaf di Ka’bah. Matanya menatap seorang lelaki sederhana dalam pakaian ihramnya yang tengah duduk di sana dengan tenag. Dia berkata di dalam hati : “Betapa angkuhnya orang ini, tidak berdiri di depan tokoh besar sepertiku!”. Tak lama berselang, dia mulai berceramah di Masjid al-Haram, makkah. Seluruh penduduk kota Suci telah berkumpul untuk mendengarkan ucapan ulama besar yang merupakan penulis tafsir A-Qur’an paling penting ini. Fakhruddin al-Razi secara perlahan menaiki mimbar dan memulai ceramahnya : “Wahai kaum muslimin”-dan tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya. Seolah-olah semua isi pikirannya telah dihapus. Dia mulai berkeringat karena malu. Dia mohon maaf, seraya mengatakan bahwa dia kurang sehat, dan meninggalkan mimbar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setibanya di rumah, dia mengeluh dan berdoa, “Ya Allah, apa yang telah kulakukan sehingga Engkau menghukumku dengan aib semacam itu?” Malam itu, dalam sebuah mimpi, ditunjukkan kepadanya pria yang telah dicelanya di dalam hati karena tidak berdiri di depannya. Dialah Muhyiddin Ibn Arabi. Selam berhari-hari dia mencarinya di mana-mana. Persis ketika dia merasa putus asa untuk dapat menemukannya, pintu rumahnya diketuk orang, dan Ibn Arabi berdiri di depannya. Dia meminta maaf, dan pengetahuannya dikembalikan kepadanya.
Baru-baru ini, ada kasus ulama lain, Ibrahim Haleri, imam Masjid Fatih di Istambul, orang yang sangat ortodoks yang memusuhi ajaran-ajaran keagamaan Ibn Arabi. Suatu hari dalam diskusi yang sengit dengan orang yang membela syekh, dia menghentakkan kakinya, seraya berkata, “Seandainya aku ada di sana, aku pasti akan menginjak kepalanya seperti ini!” Ketika bernuat demikian, dia menginjak sebuah paku besar. Luka itu tidak pernah sembuh hingga menyebabkan kematiannya (Masjid Fatih berlantai batu, bukan kayu).
Menurut tradisi lisan, suatu hari di Damaskus Ibn Arabi melihat seorang pemuda Yahudi yang tampan. Ketika dia memperhatikannya, pemuda itu dating kepadanya dan menyebutnya “ayah”. Sejak hari itu dan seterusnya sang pemuda tak pernah meninggalkannya. Ayah pemuda itu mencari, menemukannya bersama syekh, dan ingin mengambilnya kembali. Sang pemuda tidak mengakuinya dan justru menyatakan syekhlah yang menjadi ayahnya. Si ayah dengan heran, berkata kepada syekh bahwa dia bias menghadirkan ratusan saksi untuk membuktikan bahwa pemuda itu adalah anaknya. Syekh menjawab, “Jika pemuda itu menyatakan aku adalah ayahnya, maka akulah ayahnya”. Si ayah pergi ke pengadilan mengadukan anaknya, seraya menunjukkan ratusan saksi. Ketika hakim bertanya kepada syekh apakah pemuda itu anaknya, syekh meminta agar sang pemudalah yang ditanya. Sang pemuda mengaku syekh sebagai ayahnya. Kemudian syekh bertanya kepada para saksi apakah pemuda Yahudi ini hafal Al-Qur’an. Mereka menjawab, “Bagaimana mungkin seorang pemuda Yahudi hafal Al-Qur’an?” Hakim meminta pemuda itu membaca Al-Qur’an, yang dilakukannya dengan fasih dan indah. Kemudian syekh bertanya kepada para saksi apakah pemuda itu mengetahui hadist Nabi Muhammad. Mereka menjawab, “Bagaimana mungkin seorang pemuda Yahudi mengetahui ilmu semacam itu, yang tidak menjadi pandangan hidupnya?” Hakim secara terbuka bertanya kepada pemuda itu tentang hadist Nabi. Sang pemuda menjawab setiap pertanyaan dengan tepat dan lengkap. Orang-orang Yahudi yang memahami keajaiban ini menerima Islam.
Cerita berikut dimuat pada bagian akhir Futuhat al-Makkiyyah : Dalam atmosfer ortodoks mazhab hokum Islam, seorang guru tengah menjelaskan akar kata zindiq (ateis). Sebagian murid nakal bertanya apakah mungkin kata itu berasal kata zenuddin, yang artinya “wanita beragama”. Murid nakal yang lain berkata, “Zindiq adalah orang seperti Muhyiddin Ibn Arabi … bukankah demikian, Syekh?” Guru itu dengan singkat menjawab, ya.
Saat itu bulan Ramadhan, bulan Puasa, dan sang guru telah mengundang murid-murid ke rumahnya untuk berbuka puasa bersama. Sambil duduk dan menunggu saat berbuka, murid-murid nakal yang sama mengusik guru mereka, dengan berkata, “Jika Anda tidak bisa menunjukkan kepada kami nama wali terbesar pada zaman kami, kami tidak akan berbuka puasa dengan makanan Anda”. Sang guru menjawab bahwa syekh terbesar di sepanjang zaman adalah Muhyiddin Ibn Arabi. Murid-murid menolak, sambil mengatakan bahwa sebelumnya di madrasah ketika mereka menyebut Ibn Arabi sebagai contoh orang zindiq, dia setuju. Kini dia malah menyatakan bahwa syekh itu adalah wali terbesar pada zaman mereka! Sang guru menjawab, seraya menyunggingkan senyum di bibirnya : “Di madrasah kita termasuk kaum ortodoks, ulama, dan ahli hukum; di sini kita termasuk para pencinta”.
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Arabi, pergi ke Baghdad pada usia senja. Ia mendambakan seorang anak sebagai penerusnya ketika dia wafat. Dia pergi untuk menemui Syeikh besar Muhyiddin ‘Abdul Qadir al-Jilani dan memintanya untuk berdoa kepada Allah agar memberinya seorang anak. Syeikh berkhalwat dan melakukan perenungan. Sekembalinya, dia memberitahu ‘Ali ibn Muhammad; “Aku telah melihat alam rahasia dan telah diungkapkan kepadaku bahwa engkau tidak akan mempunyai keturunan, maka janganlah engkau letihkan dirimu dengan berusaha”.
Meski kepalanya tertunduk, orang tua itu tidak akan menyerah. Dia meminta dan menegaskan: “Wahai Syeikh, Allah tentu akan mengabulkan doamu. Aku memintamu untuk memberikan syafaat kepadaku dalam masalah ini”.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilani sekali lagi menyendiri dan melakukan perenungan. Tak lama berselang dia kembali dan berkata bahwa meski Ali ibn Muhammad tidak ditakdirkan untuk memiliki seorang keturunan, sedangkan sang wali sendiri tidaklah demikian. Apakah orang tua itu ingin mempunyai benih anak sang wali?.
Si tamu dengan gembira menerimanya. Kedua orang itu saling merapatkan punggung, kedua tangan mereka saling bertautan. Ali ibn Muhammad kemudian menuturkan peristiwa ini:
“Ketika aku merapatkan punggungku ke punggung sang wali Abdul Qadir al-Jilani, aku merasakan sesuatu yang hangat turun dari leherku ke bagian punggungku. Tak lama setelah itu seorang anak lahir untukku, dan dia kuberi nama Muhyiddin, seperti yang diperintahkan Abdul Qadir al-Jilani”.
Nama lengkap Muhyiddin ibn Arabi adalah Abu Bakr Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Hatimi al-Tha’i al-Andalusi. Dia beroleh banyak gelar: al-Syaikh al-Akbar, Guru Besar; Khatim al-Auliya’ al-Muhammadiyyah, Penutup para Wali Muhammad; al-Syaikh al-A’zham, Guru Agung; Quthb al-Arifin, Poros Para Ahli Makrifat Imam al-Munahiyuddin, pemimpin Agama Para Mualaf; Rahbah al-Alam, Pembimbing Dunia; dan masih banyak lagi. Mengenai pengetahuannya yang luar biasa, Ibn al-Jawziyah berkomentar, “Ibn Arabi sangat menguasai kimia, dan mengetahui rahasia Nama Agung Allah, yang tersembunyi di dalam Al-Qur’an”. Syeikh Sa’duddin Hamawi berkata, “Muhyiddin adalah samudera pengetahuan tak berpantai”.
Muhyiddin Ibn Arabi lahir dikota Murcia propinsi Andalusia Islam, Spanyol, pada Senin 17 Ramadhan 560 H (28 juli 1165). Ayahnya adalah seorang sufi dan pribadi yang termasyhur dan terhormat. Pada masa kanak-kanaknya, di dididik dan diajarkan oleh dua wali wanita, Yasmin dari Marchena dan Fathimah dari Cordoba. Pada usia delapan tahun, Ibn Arabi dan keluarganya pindah ke Sevilla. Di sana dia belajar kepada Abu Muhammad dan Ibn Basykuwal, dua teolog dan ulama ahli hadist terbesar pada zamannya. Ketika dia berusia Sembilan belas tahun, sahabat sang ayah, filsuf dan sufi terkenal Ibn Rusyd (dikenal Barat sebagai Averroes), merasa tertarik untuk bertemu dengannya. Etrgerak oleh kekuatan besar yang dirasakannya melalui percakapan singkat dengan pemuda itu, sang ulama berbicara kepada ayahnya sesuai dengan yang diingat Ibn Arabi berikut ini :
Dia bersyukur kepada Allah karena dapat bertemu dengan orang yang telah memasuki penyendirian spiritual tanpa disadarinya dan meninggalkannya seperti aku. Dia berkata : “Itulah kejadian yang kemungkinannya telah kupastikan tanpa bertemu dengan orang yang telah mengalaminya. Mahasuci Allah bahwa aku hidup pada zaman ketika ada orang yang merasakan pengalaman ini, salah seorang dari sekian banyak orang yang membuka kunci pintu-Nya. Mahasuci Allah yang telah memberiku karunia bertemu langsung dengan salah seorang dari mereka”.
Karena ada rumor “apa yang telah Allah ungkapkan kepada seorang pemuda di tengah-tengah penyendirian spiritualnya” yang menarik perhatian Ibn Rusyd, kita tahu bahwa Ibn Arabi merasakan pengalamannya yang pertama, yakni pendakian mistik dalam khalwah, padahal dia berusia kurang dari dua puluh tahun. Tetapi, dia tidak menuliskan risalah ini, selama dua puluh tahun berikutnya.
Pada 1201, saat berusia 36 tahun, Ibn Arabi pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu dia berdoa kepada Allah agar mengungkapkan kepadanya semua yang terjadi di alam materi (jasmani) dan alam spiritual (ruhani). Allah, yang mengabulkan doanya, membuka alam rahasia kepadanya. Mengenai semua ini, Ibn Arabi kemudian berkomentar : “Aku tahu nama dan silsilah Quthb yang akan dating hingga hari kiamat. Tapi karena menentang apa yang ditakdirkan merupakan malapetaka yang sesungguhnya, karena kasih saying kepada generasi mendatang, kuputuskan untuk menyembunyikan pengetahuan ini”.
Setelah melaksanakan ibadah haji, Ibn Arabi pergi ke Mesir, Irak, dan damaskus, serta singgah di Konya, turki, di mana dia bertemu dengan Shadruddin Qunawi, seorang ulama sufi muda. Ibn Arabi menikah dengan ibu pemuda ini. Sadruddin muda menjadi salah seorang murid terdekatnya, yang diperkayanya dengan pengetahuan material dan spiritual yang luar biasa. Buku yang diedit di Konya oleh sang penulis tiga tahun setelah melaksanakan ibadah haji, kemungkinan pada mulanya disampaikan kepada orang suci ini.
Pada tahun 1223 H, Ibn Arabi kembali ke Damaskus, tempat dia bertemu, secara fisik maupun spiritual, dengan banyak guru sufi yang lain. Di sana dia menghabiskan sisa hidupnya. Konon dia wafat pada 1240 H.
Ibn Arabi menyebutkan bahwa dia bertemu Khidir, pembimbing gaib kaum sufi, sebanyak tiga kali. Pertemuannya yang pertama diceritakannya sebagai berikut:
Hal itu terjadi pada awal pendidikanku. Guruku, Abu al-Hasan, menisbahkan sebagian pengetahuan kepada seseorang. Sepanjang hari itu aku terus-menerus menentangnya atas hal tersebut. Ketika aku meninggalkannya, tepatnya saat pulang ke rumahku aku bertemu dengan orang yang tampan yang mengucapkan salam kepadaku dan berkata, “Hai yang dikatakan gurumu benar adanya-terimalah”.
Aku berlari kembali kepada guruku dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Dia bercerita kepadaku bahwa dia berdoa agar Khidir datang dan memperkuat ajarannya. Ketika mendengar hal itu, aku benar-benar memutuskan untuk tak pernah menentang lagi.
Mengenai pertemuannya yang kedua dia berkata:
… Aku tengah berada di pelabuhan Tunisia di atas sebuah perahu. Aku tak adapat tidur semalaman dan berjalan-jalan di geladak. Aku tengah menatap bulan purnama nan indah ketika tiba-tiba aku melihat seorang lelaki tinggi, berjenggot putih datang ke arahku, seraya berjalan di atas air di sebelah perahu. Aku heran. Dia berdiri tepat di depanku dan meletakkan kaki kanannya di atas kaki kirinya sebagai tanda memberi salam. Kulihat kakinya tidak basah. Dia menyampaikan salam kepadaku, mengucapkan beberapa patah kata, dan mulai berjalan menuju kota Menares, yang berada di sebuah bukit nun jauh di sana. Yang membuatku takjub, dia menempuh jarak satu mil dengan berjalan kaki. Dari kejauhan, aku bias mendengar suaranya yang merdu yang meyenandungkan dzikr. Keesokan harinya aku pergi ke kota itu, di mana aku bertemu dengan seorang syeikh yang bertanya kepadaku bagaimana pertemuanku dengan Khidir senja itu dan apa yang kami perbincangkan.
Pertemuan ketiga Ibn Arabi dengan Khidir, menurut salah satu riwayat, terjadi di sebuah masjid kecil di pantai Atlantik, Spanyol. Di tempat itu, Ibn Arabi tengah laksanakan salat zuhur. Dia bersama seseorang yang menolak adanya mukjizat. Ada beberapa pengembara lain di masjid itu. Tiba-tiba, dia melihat di tengah-tengah mereka sosok manusia serupa yang pernah ditemuinya di Tunisia. Orang yang tinggi dan berjenggot putih itu mengambil sajadahnya dari mimbar di masjid itu, mengangkatnya empat belas kaki di udara, dan melaksanakan salatnya di sana. Kemudian dia kembali untuk menceritakan kepada ibnu Arabi bahwa dia berbuat demikian sebagai dalil bagi sahabatnya yang skeptis itu, yang menolak mukjizat.
Ketika Muhyiddin Ibn Arabi berada di atas tingkatan Syeikh Abu al-Hasan al-Uryani, dia menulis sepucuk surat kepada gurunya, seraya berkata, “Hadapkanlah hatimu kepadaku dan sampaikan pertayaanmu, dan aku akan menghadapkan hatiku kepadamu serta menjawab semua pertanyaan itu”.
Tak lama berselang dia menerima sepucuk surat dari sang guru, yang berkata:
Aku bermimpi bahwa semua wali berkumpul di dalam majelis dengan dua orang berada di tengahnya. Salah seorang diantaranya adalah Abu al-Hasan ibn Siban. Aku tidak dapat melihat wajah yang lain. Kemudian kudengar suara yang mengatakan bahwa orang lain yang berada di tengah itu adalah seorang Andalusia, dan bahwa salah seorang dari keduanya akan menjadi quthb pada zaman kami. Sebuah ayat Al-Qur’an dibacakan dan kedua orang itu bersujud. Ada suara berkata, “Yang mengangkat kepalanya lebih dulu akan menjadi quthb”. Orang Andalusia itu mengangkat kepalanya lebih dulu. Aku bertanya kepada suara itu tanpa huruf atau kata-kata. Suara itu menjawabku dengan berembus ke arahku. Napas ini berisi jawaban atas semua pertanyaanku. Aku dan juga semua wali di dalam majelis itu mencapai ekstase karena napas ini. Kutatap wajah orang Andalusia yang berada di tengah lingkaran itu. Ternyata, itulah engkau, hai Muhyiddin Ibn Arabi.
Karya-Karya Ibn Arabi
Pengaruh spiritual menakjubkan wali ini, di Timur dan Barat, sangatlah jelas. Dia telah mengajarkan tauhid, Keesaan, kepada manusia, dan akan terus mencerahkannya hingga hari kiamat. Ajarannya tentang keagungan Penciptaan dan pengetahuannya yang luar biasa yang dipertontonkan dalam buku-buku seperti al-Futuhat al-Makkiyah (Wahyu-wahyu Makkah), Fushush al-Hikam (Permata Hikmah), dan sebagainya, yang jumlahnya lebih dari 500 karya-menjadi saksi atas kedudukannya yang penting.
Kisah Perjalanan Ibn Arabi
Dia mempunyai musuh sebanyak orang yang mencintainya; orang-orang fanatik laksana kelelawar yang dibutakan oleh cahaya sang wali. Sebagian orang memusuhi orang-orang yang tidak mereka kenal, tidak dapat mereka kenal, dan tidak dapat mereka pahami. Bahkan orang-orang yang menyebutnya al-Syaykh al-Akbar (Guru Besar) merupakan orang-orang yang tidak memehaminya. Sebagian mereka bahkan membencinya. Sang wali tidak hanya memaafkan orang-orang yang kurang baik ini namun bahkan menyatakan bahwa dia akan memberikan syafaat kepada mereka di hari kiamat, sebab mereka harus dikasihi karena tak mampu memahaminya. Sesungguhnya, seperti halnya pandai-emas mengetahui nilai emas, orang bijak mengetahui nilai pengetahuan dan manusia Sempurna yang sangat mengetahui memaafkan si bodoh karena kemiskinan mereka. Kasih sayang sang wali ini adalah bukti yang memadai atas kesempurnaannya.
Suatu hari, salah seorang musuh Ibn Arabi jatuh sakit. Sang Syekh pergi menjenguknya. Dia mengetuk pintu dan memohon kepada istri si sakit untuk memberitahu bahwa dia ingin menjenguknya. Wanita itu menyampaikan pesannya dan, sekembalinya, menyampaikan kepada Syekh bahwa suaminya tidak ingin bertemu dengannya. Syekh tidak punya urusan di dalam rumah ini, demikian sang istri memberitahunya. Tempat yang pantas baginya adalah gereja. Syekh berterima kasih kepada wanita itu dan mengatakan bahwa karena orang baik seperti suaminya tentu tidak akan mengirimnya ketempat yang buruk, dia akan menuruti saran itu. Maka setelah berdoa bagi kesehatan dan kesejahteraan orang sakit tersebut, Syekh pun berangkat ke gereja.
Ketika dia tiba, dia melepas sepatunya, masuk dengan rendah hati dan sopan. Lalu secara perlahan dan tenang berjalan ke sebuah sudut, tempat dia duduk. Pendeta tengah menyampaikan khotbah yang didengarkan Ibn Arabi dengan penuh perhatian. Di tengah-tengah khotbah, Syekh merasa si pendeta telah memfitnah Isa dengan menisbahkan kepadanya pengakuan bahwa dia adalah anak Allah. Syekh berdiri dan dengan santun menolak pernyataan ini. “Bapak pendeta yang terhormat”, demikian dia memulai, “Isa yang suci tidak mengatakan hal itu. Sebaliknya, dia meramalkan kabar gembira tentang datangnya Nabi Ahmad (Muhammad SAW)”.
Pendeta itu menolak bahwa Isa telah berkata demikian. Perdebatan terus berlangsung. Akhirnya Syekh, seraya menunjuk gambar Isa di dinding gereja itu, memerintahkan sang pendeta untuk bertanya langsung kepada Isa. Dia akan menjawab dan memutuskan masalah itu sekali dan buat semua. Sang pendeta menolak dengan keras, seraya menyatakan bahwa gambar tidak dapat berbicara. Gambar ini tentu, demikian Syekh menegaskan, demi Allah yang telah membuat Isa berbicara saat masih bayi di pangkuan Perawan Suci, juga akan membuat gambarnya berbicara. Jamaah yang mengikuti perdebatan yang sengit itu tertarik oleh pernyataan ini. Sang pendeta terpaksa berpaling pada gambar Isa dan bernicara kepadanya : “Wahai anak Allah! Tunjukkan pada kami jalan yang benar. Katakan kepada kami mana diantara kami yang benar dalam pernyataan kami”. Dengan kehendak Allah, gambar itu berbicara dan menjawab : “Aku bukan anak Allah, aku adalah utusan-Nya, dan sesudahku datang nabi yang terakhir, Ahmad Yang Suci; Kuramalkan hal itu kepadamu, dan kunyatakan kembali kabar gembira ini sekarang”.
Dengan keajaiban ini, semua jamaah menerima islam dan, dengan dipimpin oleh Ibn Arabi, mereka berbaris melewati jalan-jalan menuju masjid. Ketika mereka melewati rumah orang sakit itu, dia terlihat berada di dalam rumah, matanya terbelalak heran, seraya melihat ke luar jendela kea rah pemandangan ganjil ini. Sang wali berhenti, memberkati dan berterima kasih kepada pria yang telah menghinanya itu, seraya berkata bahwa dia terpuji atas keselamatan semua orang itu.
Tidak banyak orang yang memehami sang wali pada masa hidupnya. Suatu hari dia mendaki gunung di Damaskus, berdakwah dan berkata : “Hai penduduk Damaskus, Tuhan yang kalian sembah ada di bawah kakiku”.
Ketika mendengar kata-kata ini, orang melemparinya dengan batu, dan bersiap untuk membunuhnya. Sebenarnya, menurut salah satu tradisi, pada kejadian tersebut dia telah mati syahid. Menurut tradisi lain seorang Syekh pada zamannya, Abu al-Hasan, meredakan ucapannya dan menyelamatkannya dari kematian dengan dialog berikut :
“Bagaimana penduduk bias memenjarakan seseorang”, demikian dia bertanya kepada Ibn Arabi, “Yang melaluinya alam malaikat dating ke dunia fana?”
“Kata-kataku telah diucapkan, “Jawab Syekh, “Melalui racun keadaan yang engkau jelaskan”.
Tetapi ucapan Ibn Arabi dan karyanya telah menimbulkan reaksi keras semacam itu pada masa hidupnya dan, setelah wafatnya, orang menghancurkan pusaranya hingga rata dengan tanah.
Salah satu pernyataan yang mengandung teka-teki adalah “Idza dakhala al-sin ila al-syin/Yazhara qabru Muhyiddin”, yang berarti : “Ketika S memesuki Sy (huruf sin dan syin dalam bahasa arab), pusara Muhyiddin akan ditemukan”. Ketika sultan Utsmani IX, Salim II, menaklukan Damaskus pada 1516, dia memepelajari pernyataan ini dari seorang ulama sezaman yang bernama Zembili Ali Efendi, yang menafsirkannya : “Ketika Salim (yang namanya diawali huruf sin) memasuki kota Syam (nama Arab Damaskus, yang diawali huruf syin), dia akan menemukan pusara Ibn Arabi”. Kemudian Sultan Salim memperoleh keterangan dari para teolog kota itu mengenai tempat sang wali menyatakan “Tuhan yang kalian sembah ada di bawah kakiku”, dan tempat itu pun digali. Pertama, ditemukan perbendaharaan uang logam emas, yang mengungkapkan apa yang dimaksudkan oleh sang wali. Di sebelahnya, dia menemukan pusaranya. Dengan kekayaan yang ditemukannya, Sultan Salim mendirikan tempat ziarah dan masjid yang sangat indah di sekitar pusara itu. Ia masih ada hingga di kota Damaskus dan berada di sebuah tempat yang disebut Salihiyyah di lereng gunung Qasiyun.
Muhibbuddin al-Thabari menisbahkan kisah berikut kepada ibunya:
Muhyiddin Ibn Arabi tengah menyampaikan khotbah di Ka’bah tentang arti Ka’bah. Di dalam hati, aku tidak setuju terhadap ajarannya. Malam itu aku bermimpi bertemu syekh. Di dalam mimpi ini, Fakhruddin al-Razi, salah seorang teolog terbesar pada masa itu, dating melaksanakan haji dengan kemegahan dan upacara besar, dan telah bertawaf di Ka’bah. Matanya menatap seorang lelaki sederhana dalam pakaian ihramnya yang tengah duduk di sana dengan tenag. Dia berkata di dalam hati : “Betapa angkuhnya orang ini, tidak berdiri di depan tokoh besar sepertiku!”. Tak lama berselang, dia mulai berceramah di Masjid al-Haram, makkah. Seluruh penduduk kota Suci telah berkumpul untuk mendengarkan ucapan ulama besar yang merupakan penulis tafsir A-Qur’an paling penting ini. Fakhruddin al-Razi secara perlahan menaiki mimbar dan memulai ceramahnya : “Wahai kaum muslimin”-dan tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya. Seolah-olah semua isi pikirannya telah dihapus. Dia mulai berkeringat karena malu. Dia mohon maaf, seraya mengatakan bahwa dia kurang sehat, dan meninggalkan mimbar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setibanya di rumah, dia mengeluh dan berdoa, “Ya Allah, apa yang telah kulakukan sehingga Engkau menghukumku dengan aib semacam itu?” Malam itu, dalam sebuah mimpi, ditunjukkan kepadanya pria yang telah dicelanya di dalam hati karena tidak berdiri di depannya. Dialah Muhyiddin Ibn Arabi. Selam berhari-hari dia mencarinya di mana-mana. Persis ketika dia merasa putus asa untuk dapat menemukannya, pintu rumahnya diketuk orang, dan Ibn Arabi berdiri di depannya. Dia meminta maaf, dan pengetahuannya dikembalikan kepadanya.
Baru-baru ini, ada kasus ulama lain, Ibrahim Haleri, imam Masjid Fatih di Istambul, orang yang sangat ortodoks yang memusuhi ajaran-ajaran keagamaan Ibn Arabi. Suatu hari dalam diskusi yang sengit dengan orang yang membela syekh, dia menghentakkan kakinya, seraya berkata, “Seandainya aku ada di sana, aku pasti akan menginjak kepalanya seperti ini!” Ketika bernuat demikian, dia menginjak sebuah paku besar. Luka itu tidak pernah sembuh hingga menyebabkan kematiannya (Masjid Fatih berlantai batu, bukan kayu).
Menurut tradisi lisan, suatu hari di Damaskus Ibn Arabi melihat seorang pemuda Yahudi yang tampan. Ketika dia memperhatikannya, pemuda itu dating kepadanya dan menyebutnya “ayah”. Sejak hari itu dan seterusnya sang pemuda tak pernah meninggalkannya. Ayah pemuda itu mencari, menemukannya bersama syekh, dan ingin mengambilnya kembali. Sang pemuda tidak mengakuinya dan justru menyatakan syekhlah yang menjadi ayahnya. Si ayah dengan heran, berkata kepada syekh bahwa dia bias menghadirkan ratusan saksi untuk membuktikan bahwa pemuda itu adalah anaknya. Syekh menjawab, “Jika pemuda itu menyatakan aku adalah ayahnya, maka akulah ayahnya”. Si ayah pergi ke pengadilan mengadukan anaknya, seraya menunjukkan ratusan saksi. Ketika hakim bertanya kepada syekh apakah pemuda itu anaknya, syekh meminta agar sang pemudalah yang ditanya. Sang pemuda mengaku syekh sebagai ayahnya. Kemudian syekh bertanya kepada para saksi apakah pemuda Yahudi ini hafal Al-Qur’an. Mereka menjawab, “Bagaimana mungkin seorang pemuda Yahudi hafal Al-Qur’an?” Hakim meminta pemuda itu membaca Al-Qur’an, yang dilakukannya dengan fasih dan indah. Kemudian syekh bertanya kepada para saksi apakah pemuda itu mengetahui hadist Nabi Muhammad. Mereka menjawab, “Bagaimana mungkin seorang pemuda Yahudi mengetahui ilmu semacam itu, yang tidak menjadi pandangan hidupnya?” Hakim secara terbuka bertanya kepada pemuda itu tentang hadist Nabi. Sang pemuda menjawab setiap pertanyaan dengan tepat dan lengkap. Orang-orang Yahudi yang memahami keajaiban ini menerima Islam.
Cerita berikut dimuat pada bagian akhir Futuhat al-Makkiyyah : Dalam atmosfer ortodoks mazhab hokum Islam, seorang guru tengah menjelaskan akar kata zindiq (ateis). Sebagian murid nakal bertanya apakah mungkin kata itu berasal kata zenuddin, yang artinya “wanita beragama”. Murid nakal yang lain berkata, “Zindiq adalah orang seperti Muhyiddin Ibn Arabi … bukankah demikian, Syekh?” Guru itu dengan singkat menjawab, ya.
Saat itu bulan Ramadhan, bulan Puasa, dan sang guru telah mengundang murid-murid ke rumahnya untuk berbuka puasa bersama. Sambil duduk dan menunggu saat berbuka, murid-murid nakal yang sama mengusik guru mereka, dengan berkata, “Jika Anda tidak bisa menunjukkan kepada kami nama wali terbesar pada zaman kami, kami tidak akan berbuka puasa dengan makanan Anda”. Sang guru menjawab bahwa syekh terbesar di sepanjang zaman adalah Muhyiddin Ibn Arabi. Murid-murid menolak, sambil mengatakan bahwa sebelumnya di madrasah ketika mereka menyebut Ibn Arabi sebagai contoh orang zindiq, dia setuju. Kini dia malah menyatakan bahwa syekh itu adalah wali terbesar pada zaman mereka! Sang guru menjawab, seraya menyunggingkan senyum di bibirnya : “Di madrasah kita termasuk kaum ortodoks, ulama, dan ahli hukum; di sini kita termasuk para pencinta”.
Selengkapnya untuk menyimak posting terbaru Mozaik Sufi, silahkan berkunjung di:
Post a Comment