Mozaik Sufi

0
Abu Mansur Al Hallaj
Al Hallaj (Husain ibn Mansur)
(857 M - 922 M)
 
Pengantar

Al Hallaj lahir di barat daya Iran di tahun 857 M menjadi murid mistik sufi al-Junaid dari Baghdad, yang mengajarkan bahwa disiplin agama harus diarahkan pada pemusnahan ego (fana), yang akan diikuti kembali oleh primordial, keadaan alami dari diri (baqa). 

Seorang manusia bisa kembali ke Sumber makhluk, asal usul aslinya, dalam perjumpaan dengan Allah yang akan mengakhiri pemisahan dan pembubaran dan membawa kedamaian dan kebahagiaan. 

Dalam tahap awal tasawuf, di mana kaum sufi minoritas dan dipandang dengan kecurigaan oleh Muslim lainnya, al-Hallaj, ditolak Sufi dan tradisionalis. 

Setelah ziarah ke Mekah mendalami mistis *, dia berpisah dengan banyak Sufi ketika ia mulai berkhotbah, di mana ia mengungkapkan "rahasia", dan mulai menjaga praktek Sufi secara ketat di mulai. 

Al-Hallaj melakukandua perjalanan ke Mekah sebelum menetap di Baghdad. 

Di sana, ia menyebabkan kemarahan umat Islam tradisionalis dengan mengklaim bahwa tujuan akhir agama adalah kesatuan dengan Allah melalui kasih, dan ia dituduh penyembah berhala, panteisme, dan penghujat ketika dia menyatakan, "Akulah Kebenaran" (yang seperti mengatakan, "Akulah Allah"). 

Ia menjadi martir bagi Sufi mistisisme, ia dikutuk oleh otoritas hukum dan politik ntuk penggantian khalifah dan tatanan sosial baru. 

Dia ditangkap pada tahun 915 M, menghabiskan sembilan tahun penjara, dan dipenggal pada tahun 922 M. 

Kata-kata terakhirnya adalah, "yang penting untuk kebahagian adalah bahwa kematiannya adalah untuk persatuan." 

Al-Ghazali kemudian mengatakan khotbah al-Hallaj adalah tidak sesat, tetapi hanya sebuah penggambaran bijaksana dari apa yang seharusnya disembunyikan dari yang belum tahu. 

Dalam tulisannya, klaim al-Hallaj bahwa tidak perlu untuk menghancurkan orang individu, tetapi penderitaan (mungkin martir dalam kasusnya) bisa membawa tentang "cinta berapi-api" (ishq) di mana jiwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. 

* Selama berziarah, al-Hallaj berkata, "Ruh-Ku memadukan dirinya dengan Ruh-Nya sebagai musk dengan amber, seperti anggur dengan air yang murni."


Dalam dunia Tasawwuf terdapat banyak ajaran-ajaran beserta pencetus ajaran tersebut. Dalam ajaran-ajaran mereka banyak terjadi kontroversial ditengah-tengah masyarakat, khususnya dikalangan ulama fiqih.

Setiap manusia pasti memiliki watak, pribadi serta pola pikir yang berbeda, karena itu pasti setiap orang punya cara tersendiri untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Apalagi orang-orang tertentu yang memiliki keinginan sangat kuat serta menginginkan hubungan yang sangat khusus terhadap Allah SWT yaitu orang-orang yang mengikuti ajaran Tasawwuf. Karena itulah banyak ajaran-ajaran Tasawwuf yang berkembang yang menimbulkan kontroversial.

Ajaran-ajaran mereka banyak ditentang oleh kalangan pemerintahan, dengan alasan ajaran mereka menyesatkan ummat. Tetapi karena keteguhan mereka sangat kuat terhadap ajarannya, mereka tidak memperdulikan orang-orang yang menentangnya, bahkan walaupun mereka harus tebunuh atau dibunuh akibat ajaran-ajaran mereka yang dianggap menyesatkan.

Pada kesempatan kali ini kami ingin sedikit membahas salah satu ajaran Tasawwuf yaitu Hulul, ajaran ini berasal dari seorang ulama Tasawwuf yang diberi julukan Al-Hallaj. Semoga makalah kami yang ringkas ini dapat membantu kita semua dalam memahami ajaran Hulul, yang dibawa oleh Al-Hallaj, serta dapat mengambil hikmah dan pelajaran-pelajaran yang tersirat dalam kisah dan perjalanan beliau.

1. Riwayat Hidup Al-Hallaj

Nama lengkap al Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi (244-309 H / 857-922 M). al-hallaj yang berarti pemintal benang, lahir di Thur, sebelah timur laut Baidha’, Persia ( Iran ). Al-Hallaj adalah cucu dari seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Ayyub.

Sebelum berusia 12 tahun ia belajar menghafal Al-Quran dan menjadi seorang hafizh (Al-Quran). Ia berusaha mencari makna batiniah dari surat-surat Al-Quran dan menerjunkan diri ke dalam tasawwuf di madrasah Sahl at-Tustari menuju Basrah. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz.

Selanjutnya ia pergi ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi benama Amr Al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia juga pernah menunaikan ibadah haji di Makkah sebanyak tiga kali. Al-Hallaj menikah dengan Umm al-Husain, puteri Abu Ayyub al-Aqtha’.

Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fiqih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan dibawah ini menyebabkan seorang ulama fiqih bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fiqih penganut madzhab Zahiri, suatu madzhab yang hanya mementingkan dzahir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sipir penjara.

Dari Baghdad atas saran al-Junaid ia pergi ke Makkah. Disana ia menjalankan hajinya yang pertama dan menyelesaikan umrahnya selama satu tahun di halaman Masjid al-Haram sambil berpuasa dan berdzikir. Dalam suasana seperti ini, al-Hallaj berusaha dengan caranya sendiri menyatu dengan Allah dan mulai menyerukan penyatuan itu.

Setelah kembali ke Khuzistan, al-Hallaj mulai menanggalkan baju gamis panjang kesufiannya dan kemudian memakai jubah agar dapat berbicara dan berdakwah secara lebih leluasa. Inilah permulaan kewaliannya, dimana tujuan utamanya adalah membuat setiap orang dapat menemukan Allah di dalam hatinya sendiri. Karenanya, al-Hallaj diberi julukan Hallaj al-Asrar (pemintal hati nurani)yang membuatnya dicurigai dan di benci serta dijadikan bahan polemic di antara para sufi.

Beberapa kaum Sunni dan sebagian orang Kristen yang menjadi pejabat Negara di Baghdad menjadi pengikutnya. Tetapi kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah yang menjadi pejabat Negara menuduhnya sebagai penipu dan menentangnya. Lalu Al-Hallaj pergi ke Khurasan untuk melanjutkan dakwahnya di antara koloni-koloni Arab di sebelah Timur Iran dan menetap disana selama lima tahun. Kemudian Al-Hallaj kembali ke daerah Tustar, dan melalui bantuan Sekretaris Negara, Hamid Kunna’i, ia berhasil membawa keluarganya menetap di Baghdad.

Kemudian Al-Hallaj melakukan Ibadah Hajinya yang kedua bersama 400 orang pengikutnya, tetapi beberapa kawan lamanya dari kalangan sufi menuduhnya menggunakan magic dan ilmu sihir serta membuat perjanjian dengan jin. Setrelah haji keduanya ini, ia melakukan perjalanan panjang ke India dan Turkistan. Di India ia berhasil menyebarkan Islam dan mengembangkan pengaruhnya di sana. Buktinya, sebagian kasta yang ditarik ke dalam Islam sampai sekarang masih disebut sebagai Mansuri (yang ditolong), dan sebuah makam yang diyakini sebagai makamnya di Baghdad masih didatangi oleh orang-orang Gujarat, India.[3]

Sekitar tahun 290 H/902 M, al-Hallaj kembali ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji yang ketiga kalinya sekaligus yang terakhir. Ia kembali ke sana dengan mengenakan muraqqa’ah (sehelai kain tambalan yang menutupi bahunya) dan futha (sejenis kain celana India) yang melingkar di pinggangnya. Ketika wukuf di Arafah, al-Hallaj berdoa agar Allah menguranginya menjadi tiada, menjadikan dirinya direndahkan dan ditolak, sehingga hanya Allah yang ada dalam jiwa dan bibirnya. Setelah kembali kepada keluarganya di Baghdad al-Hallaj membangun sebuah model Ka’bah di dalam rumahnya dan berdo’a di tengah malam di samping makam, dan pada siang hari ia mengumandangkan jalan atau mabuk cintanya kepada Allah dan keinginannya untuk meninggal secara terhina demi kaumnya.

“Wahai kaum muslim, selamatkan aku dari Allah, “Allah telah membuat darahku menjadi halal untuk engkau, maka bunuhlah aku,” seru Al-Hallaj. Seruan ini memunculkan emosi dan memicu kecemasan di kalangan kaum terdidik. Seorang Zhahirin, Muhammad ibn Dawud, marah ketika al-Hallaj mengumumkan penyatuan mistiknya dengan Allah, ia meminta agar al-Hallaj diseret ke pengadilan dengan melakukan provokasi agar al-Hallaj dihukum mati. Tetapi ahli fiqih Syafi’i, Ibn Suraij, menyatakan bahwa inspirasi mistik itu diluar ketentuan fiqih.

Pada tahun 296 H/908 M beberapa aktivis reformasi sunni (di bawah pengaruh seorang penganut aliran Hanbali, Barbahari) melakukan perebutan kekuasaan dan mengangkat Ibn al-Mu’taz sebagai Khalifah. Tetapi usaha mereka gagal, dan Khalifah al-Muqtadir memulihkan kembali pejabat finansialnya yang Syi’ah, Ibn Furat. Akibatnya al-Hallaj menerima perlakuan represif dari orang-orang yang bersikap anti Hanbali, tetapi ia berhasil menyelamatkan diri menuju Sus di Ahwaz, walaupun empat pengikutnya ditahan.

Tiga tahun kemudian al-Hallaj sendiri ditahan dan dibawa ke Baghdad sebagai korban kebencian Hamid, seorang pengikut Sunni, Al-Hallaj lalu dimasukkan ke dalam penjara selama sembilan tahun. Pada tahun 301 H/913 M, Menteri Ibn ‘Isa, saudara sepupu dari salah seorang pengikut al-Hallaj mengakhiri peradilan terhadap al-Hallaj dan pengikut-pengikutnya yang meringkuk dalam penjara dengan tuntutan dibebaskan.

Sayangnya, karena provokasi represif dari musuh-musuh al-Hallaj dengan dukungan kepala polisi yang juga lawan menteri Ibn ‘Isa, al-Hallaj dihukum tiga hari, dan di atas kepalanya dipasang plakat bertuliskan “Agen Qarmathiyah”.

Al-Hallaj kemudian dibawa ke suatu tempat di mana ia sempat memberi ceramah kepada kalangan narapidana lainnya. Pada tahun 303 H/915 M, al-Hallaj merawat khalifah yang sakit demam, dan pada tahun 305 H ia “menghidupkan kembali” pangeran putera mahkota itu. Kaum Mu’tazilah lantas mengumumkan ajaran pedukunan al-Hallaj. Pada tahun 304-306 H, menteri Ibn ‘Isa yang mengagumi al-Hallaj digantikan oleh Ibn Furat yang anti al-Hallaj. Namun pengaruh sang Ratu mencegah menteri baru itu untuk membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj. Pada periode ini muncul dua karya utama al-Hallaj, yaitu Thasin al-Azal, sebuah perenungan tentang Iblis, sang monoteis yang tidak patuh, dan karya pendeknya yang berjudul Mi’raj Nabi Muhammad, yang berhenti di Sirat al-Muntaha.

Peradilan terhadap al-Hallaj dibuka kembali pada tahun 308-309/921-922 M. Latar belakang peradilan ini adalah adanya spekulasi keuangan Hamid yang ditentang oleh Ibn Isa. Untuk menghancurkan pengaruh Ibn ‘Isa, Hamid membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj. Kali ini ia dibantu oleh Ibnu Mujahid, pemimpin terkemuka dari kumpulan qurra sekaligus sahabat sufi Ibn Salim dan Asy-Syibli, tetapi menentang Al-Hallaj.

Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulqa’dah tahun 309 H(921 M). al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang bebeda pendirian. Arberry lebih lanjut melukiskan kasus pembunuhan al-Hallaj sebagai berikut.

“Tatkala dibawa untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah orang-orang seraya berdo’a, yang diakhiri kata-kata: “Dan hamba-hamba-Mu yang bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya telah Kau anugerahkan kepada mereka yang Kau telah anugerahkan kepadaku, tentu mereka takkan melakukan apa yang telah mereka lakukan. Dan bila Kau sembunyikan dari diriku yang telah Kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau-Lakukan, dan Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau kehendaki.

2. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Hulul.

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.

Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dan sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya al-Thawasin.

Selain itu al-Hallaj terkenal dengan ucapannya yang kontroversial, yaitu Ana al-Haqq, yang berarti “Akulah Tuhan”. Menurut Gilani Kamran, frase mistik ana al-haqq mempunyai sejarah yang panjang, baik sebagai pernyataan maupun pengalaman. Sebagai pernyatan, ana al-haqq telah dibahas dari berbagai segi, dan nuansa panteistiknya telah diperdebatkan.

Sebagai pengalaman, kebenaran kata-kata itu sering ditentang. Dalam kerangka yang diberikan oleh pemikiran spekulatif Islam (teologi), ungkapan ana al-haqq menduduki tempat yang penting dalam hubungan Tuhan dengan manusia. Namun karena alasan ini, frase tersebut menimbulkan kesulitan pada sikap teologi Islam, karena ungkapan ini menunjukan saling tumpang tindih sifat Ilahi dan Insani dalam diri manusia.

Kemudian Syaikh Ahmad Sirhindi (1563-1624) membahas ana al-haqq dalam tradisi teologi dan menegaskan bahwa ana al-haqq merupakan pernyataan situasional, dan ungkapan ini mempresentasikan kualitas pengalaman yang otentik. Beliau menyatakan bahwa ana al-haqq sebagai kebenaran tidaklah mengacu kepada kondisi penyatuan, tetapi pada dasarnya al-haqq sepenuhnya menyelimuti kesadaran jiwa yang menyesali diri (contemplative ego). Pada kondisi ini ana hanya mengetahui al-haqq yang menyelimutinya, dan secara bersamaan kehilangan identitasnya. Hilangnya identitas personal inilah yang membuat pernyataan al-Hallaj menjadi penting.

Syaikh Ahmad sirhindi menegaskan bahwa ana al-haqq tidak mengacu pada penyatuan dengan esensi Tuhan atau sifat-Nya. Dengan demikian, al-haqq sebagai “Akulah Kebenaran” secara kategoris dikesampingkan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi yang menafsirkan frase itu sebatas penegasan melalui sangkalan. Menurut beliau, ana al-haqq tidak hendak menegaskan makna “Akulah Kebenaran”, tetapi hanya pernyataan bahwa “Aku tiada, hanya Dia yang ada satu-satunya.” Tanpa penyangkalan diri, maka pengukuhan atas kebenaran Tuhan masih belum terselesaikan. Al-Hallaj sebenarnya menandaskan keyakinan-nya melalui penyangkalan diri.

Di sisi lain ana al-haqq dianggap terlalu melebih-lebihkan pengalaman subjektif, dan “Aku” personal menunjukkan kecendrungan kearah megalomania dan egotism. “Aku” personal inilah yang menutupi al-haqq dan mengundang perhatian penuh pada dirinya sendiri. Jadi ana al-haqq sebagai sebuah pernyataan tentang pengalaman mempertahankan Dia-Engkau sebagai titik acuan dalam dirinya sendiri. Sejarah puisi mistik telah sepenuhnya mendukung titik acuan ini dan pengalihan arti dalam puisi mistik telah dicapai melalui acuan ini.

Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendiriannya itulah terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata maupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Zat-Nya sendiri. Allah melihat kepada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Nabi Adam. Setelah menjadikan Nabi Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Nabi Adam. Ia cinta pada belia, dan pada diri Nabi Adam setelah terdapat sifa-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.

Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari QS. Al-Baqarah: 34. menurut al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar mau bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Nabi Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Nabi Isa AS.

Paham bahwa Allah menjadikan Nabi Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadits yang artinya berbunyi sebagai berikut : “Tuhan menciptakan Nabi Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.

Dengan melihat ayat dan hadits diatas, Al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut), dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah “Hulul”. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana sebagaiman telah disebutkan di atas.

Berdasarkan uraian tersebut, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-Ittihad sebagaimana telah disebut diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

3. Kehidupan Hallaj Menurut Anak Laki-lakinya Hamd (Ibnu Bakuya)

Kisah ini disampaikan secara lisan oleh Hamd ibn Husayn Ibn Mansur at Tustar. Dia menceritakan kisah sebagai berikut:
  1. Ayahku, Husayn ibn Mansur, dilahirkan di Bayda, di sebuah tempat bernama al-Tur. Di dibesarkan di Tustar, dan selama jangka waktu dua than dia menjadi murid Sahl ibn Abdullah Tustari, setelah itu dia pergi ke Baghdad.
  2. Dia mengembara kadang-kadang hanya berpakaian bulu, sekali waktu dengan dua mantel yang diwarnai, kadang-kadang memakai jubah wool dengan surban, atau memakai jubah besar dengan lengan, layaknya seorang tentara.
  3. Dia meninggalkan Tustar pertama kali pergi ke Bashrah dan pada waktu itu ia berusia 18 tahun. Kemudian pergi (ke Basrah? Ke Baghdad?), memakai dua jubah, untuk menemui ‘Amr ibn ‘Utsman Makki dan Junayd ibn Muhammad; dan dia tinggal dekat dengan ‘Amr selama 18 bulan. Setelah itu dia menikah di Bashrah dengan ibuku Umm al-Husayn, anak perempuan Abu Ya’qub Aqta’, tetapi Amr ibn ‘Utsman sedih tentang pernikahan ini dan pertengkaran besar terjadi antara Abu Ya’kub dan ‘Amr terhadap persoalan ini. Ayahku pergi sendiri kepada Junayd ibn Muhammad dan menceritakan kepadanya betapa sedihnya dia terhadap ketegangan yang terjadi antara Abu Ya’kub dan ‘Amr di Baghdad. Junayd menasihatinya agar tetap tenang dan tetap menghormati mereka, yang dia lakukan dengan sabar selama beberapa waktu lamanya.
  4. Kemudian dia pergi ke Mekkah dan tinggal di sana selama satu tahun, dalam kunjungan yang sangat syahdu. Setelah itu dia kembali ke Baghdad dengan sekelompok sufi fuqara’. Dia menuju tempat Junayd ibn Muhammad untuk mengajukan beberapa pertanyaan, yang kemudian, akan tetapi, tidak terjawab, karena dituduh hal ini termotivasi oleh hasrat misi pribadi (mudda’i). Ayahku, sakit hati karena hal ini, bersama-sama dengan ibu, ke Tustar, tempat dia tinggal selama hampir dua tahun.
  5. Dan di sana dia menerima sambutan begitu hangat hingga banyak para sufi pada waktu itu marah dan benci kepadanya, khususnya ‘Amr ibn ‘Utsman. Yang bersikeras mengirimkan surat tentangnya kepada orang-orang penting di Khuzistan sambil menghasutnya dengan kesalahan-kesalahan fatal (‘azaim).
  6. Pada tahap-tahap tertentu dan dengan sangat efektif ayahku mengesampingkan gaya sufi, menolaknya dan memakai pakaian berlengan, dan sering mengunjungi kelompok-kelompok duniawi (abna al-dunya)
  7. Dia meninggalkan (Tustar) setelah itu dan kami tidak melihatnya lagi selama lima tahun. Selama waktu itu ia menjelajahi Khurassan dan Mawaralnahr; dari sana, dia pergi ke Sijistan dan Kirman, dan setelah itu kembali ke Fars. Dia mulai berceramah di depan umum, mengadakan pertemuan-pertemuan (majlis), menyeru kepada tuhan. Di Fars, orang-orang mengenalnya sebagai Abu ‘Abdallah sang zahid (asketik) dan menulis beberapa karya untuk mereka. Kemudian dia pergi dari Fars kembali ke Ahwaz, dan memanggil ibu yang membawaku menemuinya.
  8. Dia berceramah di depan umum dan setiap orang, baik itu sedikit maupun banyak, menyetujuinya. Dia berkata kepada para pendengarnya tentang suara hati, tentang apa yang ada di dalam hati mereka, yang dia sibakkan tirai hati mereka. Mereka menyebutnya sebagai “penyingkap suara hati” (Hallaj al-asrar); dan nama Hallaj, setelah itu, melekat padanya.
  9. Kemudian dia menuju Basrah; dia tinggal di sana hanya sebentar, meninggalkan aku di Ahwaz bersama murid-muridnya. Dia pergi ke Makkah untuk yang kedua kalinya, berpakaian compang-camping dan mal (muraqqa’a) dan sebuah jubah India (futa). Banyak orang menemaninya dalam perjalanan ini, sementara Abu Ya’kub Nahrajuri, karena benci, menyebarkan fitnah terhadap dia kepada orang-orang yang sudah akrab dengan ayah.
  10. Kemudian dia kembali ke Basrah, dia tinggal selama satu bulan dan kembali lagi ke Ahwaz. Kali ini dia membawa ibu bersamanya, juga ayah mertuaku (Hama) nantinya dan sejumlah orang-orang penting dari Ahwaz, dan bersama mereka hidup bersama di Baghdad, selama satu tahun. Kemudian dia berkata kepada salah satu muridnya: “Peliharalah anakku Hamd sampai aku kembali; karena aku harus pergi ke tanah yang memuja berhala (balad al-shirk; varian: balad al-turk) untuk menyadarkan penduduknya agar kembali kepada Tuhan, semoga Dia dipuji dan disucikan.
  11. Dia pergi dan aku tahu apa yang dia lakukan: dia pergi ke India, kemudian ke Khurasan untuk kali yang kedua; dia memasuki daerah Mawaralnahr dan Turkistan dan pergi sejauh Ma Sin, menyeru pendudknya kepada Tuhan dan menulis karya-karya bagi mereka yang tidak sampai kepada ayahku.
  12. Aku hanya mengetahui hal itu sebaliknya, surat-surat yang dikirimkan kepadanya dari India menyebutnya sebagai “al-Mughit”(“sang penasihat”), dari Turkestan dan Ma Sin sebagai “al-Muqit”(“sang pemelihara”), dari Khurasan sebagai “al-Mumayyiz”(“sang bijak”), dari Fars sebagai “Abu ‘Abdallah al-zahid”(“Abu ‘Abdallah yang asketis”), dan dari Khuzistan sebagai “Hallaj al-asrar”(“penyingkap suara hati”). Juga ada sekelompok orang di Baghdad yang menyebutnya sebagai “al-Mustali”(“sang rupawan”), dan sekelompok orang di Bashrah menyebutnya “al-Muhayyar”(“sang ganas”). Dan gossip tentang dia bertambah setelah dia kembali dari perjalanannya.
  13. Dia pergi setelah itu dan melakukan ibadah haji yang ketiga kalinya, termasuk masa dua tahun penyendirian spiritual (di Makkah). Pada saat dia kembali keadaannya sangat jauh berubah dari sebelumnya. Dia membeli perabotan di Baghdad dan membangun sebuah rumah (untuk menerima orang-orang). Dia mulai berceramah di hadapan publik tentang berbagai ajaran yang hanya setengahnya saja aku dapat mengerti.
  14. Akhirnya, Muhammad ibn Dawud bangkit menentangnya, bersama sekelompok ‘ulama’(cendekiawan); dan dia melaporkan berbagai tuduhan kepada (khalifah) al-Mu’tadid.
  15. Setelah itu sejumlah perdebatan terjadi antara dia dan ‘Ali ibn ‘Isa karena persoalan Nasr Qusyuri; kemudian antara dia dan Syibli dan Syaikh sufi lainnya.
  16. Banyak orang berkata: dia seorang dukun. Yang lainnya: dia seorang yang gila. Namun banyak juga yang lainnya: dia seorang yang ajaib dan ibadahnya mendapat berkah dari Tuhan.
  17. Dan pembicaran tentangnya semakin hari semakin ramai sampai kemudian pemerintah menangkap dan memenjarakannya.
  18. Pada waktu itu Nasr Qusyuri pergi ke tempat khalifah, yang memberi kewenangan kepadanya untuk membangun sel yang terpisah untuk ayahku. Kemudian sebuah rumah kecil dibangun untuknya berhubungan dengan penjara; pintu luar ditutupi dinding, dan bangunan itu sendiri dikelilingi oleh dinding, dan sebuah pintu dibuat pada sisi dalam menuju penjara. Sekitar satu tahun dia menerima tamu dibangunan itu. Kemudian dilarang, dan dia menjalani hal ini selama lima bulan tanpa ada yang dapat mengunjunginya-kecuali pada suatu saat ketika dia melihat Abu’l-‘Abbas ibn ‘Ata Adami,’Abdallah ibn Khafif (di sana). Pada waktu itu aku menghabiskan malam-malamku bersama ibu di dalam rumah keluarga kami yang berada di luar, dan pada siang hari aku tinggal bersama ayahku. Kemudian mereka memenjarakanku dengan ayah selama dua bulan. Pada waktu itu aku berusia delapan belas tahun.
  19. Dan malam datang ketika ayah harus diambil, di saat fajar, di dalam sel, dia shalat dua raka’at. Kemudian, setelah shalat ini selesai, dia terus-menerus menyebut kata ”ilusi…. ilusi”, sampai malam berakhir. Kemudian selang beberapa lamanya dia diam, ketika dia tiba-tiba berteriak “Kebenaran.. kebenaran”. dia berdiri lagi, dan menyelubungi kepala dan tubuhnya dengan jubah, merentangkan tangannya, menuju kea arah Qiblat (arah Makkah), dan tenggelam dalam ibadah ekstatik (munajat).
  20. Pelayannya, Ahmad ibn Fatik hadir di situ, dan terhanyuut oleh doa ekstatik itu, seperti berikut ini:  Kami di sini, kami saksi-Mu. Kami mencari perlindungan dalam kemegahan kemenangan-Mu yang abadi, agar Engkau menunjkkan hasrat-Mu. ‘O Engkau Tuhan langit dan bumi, Engkau yang menyinari tatkala Engkau berhasrat, sama seperti engkau menyinari (di surga abadi, di hadapan Malaikat dan setan) kekuatan ketuhanan-Mu dalam bentuk yang terindah” (=bentuk manusia, dalam Adam): bentuk tempat ruh bersemayam, hadir di dalamnya melalui pengetahuan dan kata-kata, berkehendak bebas dan bukti nyata (dari kehidupan). Kemudian Engkau dianugerahi di hadapan saksi ini (=aku sendiri, Hallaj)”Aku”-Mu, esensi substansial-Mu. ‘Bagaimana keadaanmu…. Engkau, yang hadir di dalam hatiku setelah mereka menelanjangiku, yang terbiasa menggunakan Diriku untuk mengaku-aku Diriku, menyibakkan kebenaran pengetahuanku dan keajaiban-keajaibanku, terbang bersama Kenaikan-Ku ke Mahkota Kekekalan-Ku untuk mengucapkan kata yang telah menciptakan-Ku. ‘(Sekarang Engkau berharap) agar aku ditangkap, dipenjara, dihukum, dibunuh, digantung di tiang salib, abuku ditaburkan di sela-sela tiupan badai pasir yang akan mencerai beraikannya, bersama amuk badai yang akan menari-nari bersama abuku, ‘Apabila hanya karena partikel paling kecil (dari abuku), sebutir biji pohon gaharu (akan terbakar di dalamnya dengan rahmat Tuhan), niscaya telah dijanjikan akan tubuhku yang telah berubah (dan penuh berkah) akan menjadi fondasi yang lebih kokoh daripada pegunungan yang tak dapat dipindahkan.
  21. Kemudian dia menyanyikan sya’ir berikut: ‘Aku sebut nama-Mu demi jiwa yang sekarang (hadir=aku sendiri) menyaksikan “tempat” yang tiada terbatas demi bertemu dengan Saksi Abadi. ‘Aku sebut nama-nama-Mu demi hati kotor yang telah lama disegarkan oleh awan firman, yang dipenuhi dengan lautan kebijaksanaan. ‘Aku sebut nama-Mu demi Firman Tuhan, sejak firman itu layu di dalam ingatanku. ‘Aku sebut nama-Mu demi Engkau yang terinspirasi sebelum layu-yang telah disampaikan oleh orang-orang bijak dan orator fasih. ‘Aku sebut nama-Mu demi tanda yang telah dikumpulkan oleh intelek-tiada sesuatu pun yang tinggal di dalam buku-buku kecuali sampah. ‘Aku sebut nama-Mu, aku bersumpah demi cinta-Mu-demi kebajikan mereka yang kudanya terdiam dalam perjalanan; ‘Semua telah menjelajahi padang pasir, tiada meninggalkan sumur pun jejak sesudahnya –binasa seperti kaum ‘Ad dan kehilangan kota Iran: ‘Dan di belakang mereka berkumpullah orang-orang mengerumuni jejak mereka-lebih buta daripada hewan, bahkan lebih buta daripada unta betina’.
  22. Kemudian dia terdiam……
  23. Setelah itu, pelayannya, Ahmad ibn Fatik, berkata kepadanya: ’Tuan, wasiatkan kepadaku sebuah petuah. (kemudian ayahku berkata: ’Egomu! Jika engkau tidak mampu menundukkannya, dia akan menguasaimu).
  24. Tatkala pagi datang, mereka mengeluarkannya dari penjara, dan aku melihatnya berjalan gagah dengan ikatan rantainya, sambil berkata: ‘Sahabatku, apabila engkau tidak ingin berbuat jahat kepadaku, biarlah aku minum dari cangkirnya sendiri, seperti tuan rumah menjamu tamunya; tapi segera setelah cangkir itu beralih dari satu tangan ke tangan lainnya, Dia membuatkan permadani (dari kulit) untuk alas hukumanku dan membawakanku pedang; mengayunlah pedang itu kepadanya yang meminum anggur dengan singa (Tinnin) di bawah teriaknya musim panas’.
  25. Mereka kemudian membawa dia (ke boulevard) tempat kepala dan kakinya dipotong, setelah dihujani dengan 500 ayunan cambuk.
  26. Kemudian dia diseret menuju tiang salib (suliba). Dan aku mendengar dia di atas berkata dengan Tuhan penuh hasrat: ‘O Tuhanku, aku di sini (pagi ini) di tempat yang telah lama aku hasratkan, tempat aku merenungi keajaiban-Mu. O Tuhanku, karena engkau adalah saksi bahkan bagi mereka yang berbuat jahat kepada-Mu, mengapa Engkau tiada menjadi saksi bagi yang satu ini (-aku sendiri, Hallaj) yang terkena kejahatan karena Engkau’.
  27. Kemudian, aku melihat Abu Bakar Syibli, yang mendekati tiang salib, menangis dengan keras, dan menyitir kata berikut: ‘Belumkah kami melarangmu untuk menerima tamu, baik manusia ataupun malikat?’
  28. Kemudian dia bertanya kepadanya: ‘Apakah Sufisme itu?’ Dia menjawab: ‘Derajat paling rendah yang dibutuhkan seseorang untuk mendapatkannya adalah orang yang sekarang kamu lihat’. Syibli bertanya lebih lanjut: ‘Apakah derajat paling tinggi?’ Hallaj menjawab: ‘Itu di luar jangkauanmu; tapi besok engkau akan melihat; karena hal itu merupakan bagian dari misteri Tuhan yang telah aku lihat dan tetap tiada terlihat olehmu’.
  29. Pada waktu shalat (‘isya), utusan khalifah yang hendak menghukum mati Hallaj datang. Tapi dinyatakan: ‘Ini sudah terlambat; kita akan menundanya sampai besok pagi’.
  30. Tatkala pagi datang, mereka membawanya turun dari tiang salib dan menyeretnya untuk dibunuh. Aku mendengar dia kemudian berteriak keras, mengatakan dengan nada yang sangat tinggi: ‘Yang tertinggi bagi seorang sufi adalah kediriannya yang membawa kepada Dia Yang Tertunggal!’
  31. Kemudian dia berkata” ‘Mereka yang tiada mempercayai Hari Akhir akan ketakutan karena kedatangannya; tapi mereka yang percaya akan hal ini menunggu dengan penuh cinta, karena mengetahui bahwa Tuhan akan hadir’. Ini adalah kata-katanya yang terakhir.
  32. Kepalanya dipenggal, kemudian badannya dibungkus dengan kulit permadani, disiram dengan minyak, dan dibakar. Kemudian, mereka membawa abunya ke Ra’s al-Manara, untuk diterbangkan bersama angin.
  33. “Aku mengambil catatan ini dari Hamd ibn Husayn ibn Mansur. Dia bercerita kepadaku: Ahmad ibn Fatik Baghdadi, salah satu murid ayahku, melaporkan kepadaku setelah tiga hari kematian ayahku” ‘Aku telah melihat Tuhan dalam mimpi, sepertinya aku berdiri di hadapan-Nya. Aku bertanya kepada-Nya: “Tuhan, apa yang telah dilakukan Husayn ibn Mansur kepada-Mu? Dia menjawabku: “Aku bukakan pintu rahasia dari salah satu nama ketuhanan (ma’na), tapi dia menggunakannya untuk dirinya sendiri, menyebarkan untuk kebanggan dirinya sendiri; jadi aku jatuhkan hukuman kepadanya seperti yang telah engkau lihat.

Aku adalah Dia yang aku cintai
Dan Dia yang aku cintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang dalam satu tubuh,
Jika engkau melihatku, engkau melihat-Nya,
Dan ketika engkau melihat-Nya,
Engkau melihat kami berdua. 


Diambil dari beberapa sumber diantaranya:


Selengkapnya untuk menyimak posting terbaru Mozaik Sufi, silahkan berkunjung di:



Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment

 
Top